Para pelaku menawarkan kepada calon korban bahwa ada obligasi disebut obligasi dragon dengan iming-iming seharga Rp100 miliar
Jakarta (ANTARA) – Bareskrim Polri mengungkap kasus dugaan tindak pidana penipuan, penggelapan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan modus obligasi (surat utang) China diduga fiktif, Rabu.
Dalam pengungkapan tersebut, Bareskrim Polri menangkap dua orang berinisial JM dan AM, keduanya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
“Pengungkapan ini terkait dengan laporan pengaduan masyarakat tanggal 16 Mei, ditindaklanjuti oleh Dittipideksus Bareskrim Polri tanggal 21 Mei, dilakukan penangkapan terhadap dua tersangka JM dan AM,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan, dalam ekspose kasus di Bareskrim Polri, Jakarta.
Ramadhan menyebutkan, ada tiga korban yang melapor ke Mabes Polri. Para tersangka melakukan tindak pidana penipuan dan penggelapan dengan modus menjanjikan keuntungan atau investasi dalam bentuk obligasi bernama obligasi “dragon”.
“Obligasi dragon tersebut fiktif, kegiatan sudah berlangsung selama tiga tahun dari 2019 sampai saat ini,” ungkap Ramadhan.
Lebih lanjut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri Brigjen Pol Helmy Santika menjelaskan, dua tersangka ditangkap di dua lokasi berbeda, AM ditangkap di Kota Cirebon (Jawa Barat) dan JM ditangkap di Tegal (Jawa Tengah).
Helmy menyebutkan, kedua tersangka melakukan aksi kejahatannya di tiga lokasi berbeda yakni Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dari tiga korban yang melapor mengalami kerugian sebesar Rp3 miliar. Diperkirakan masih ada korban lainnya dari kejahatan tersebut yang belum melapor dengan kerugian diperkirakan Rp36 miliar sampai dengan Rp39 miliar.
“Para pelaku menawarkan kepada calon korban bahwa ada obligasi disebut obligasi dragon dengan iming-iming seharga Rp100 miliar,” tutur Helmy.
Para pelaku meyakinkan calon korban dengan memperlihatkan alat bukti berupa surat utang atau obligasi dragon, dan sejumlah mata uang dari beberapa negara seperti euro, won Korea, dolar AS, serta rupiah.
Adapun alat bukti yang disita petugas yakni, uang won Korea sebanyak 9.800 lembar pecahan 5.000, 2.100 lebar pecahan 1 juta euro, 6.500 lembar pecahan 100 dolar AS, dan masih banyak lainnya.
Selain itu, ada juga obligasi China 100 lembar atau senilai pecahan 1 triliun, pecahan 1.000 ada 100 lembar, pecahan 1 juta ada 300 lembar, pecahan 5.000 ada 100 lembar, dan masih pecahan 1 juta triliun sebanyak 2.000 lembar.
“Alat bukti ini disampaikan untuk membuat calon korban yakin, baik itu bentuk obligasi dan mata uang diduga palsu,” ujar Helmy.
Penyidik mempersangka para tersangka dangan pasal berlapis, yakni Pasal 372, Pasal 378 KUHP, Pasal 345 Undang-Undang Nomor 8 2010 tentang TPPU, dan juga Pasal 36, Pasal 37 UU Nomor 7 tahun 2011 tentang mata uang.
“Kebenaran dari obligasi ini masih diragukan, ini yang kami duga sesuatu yang palsu, maka kami sangkakan pasal penipuan sebagai pasal primer. Karena ini, bagian dari keadaan palsu. Kemudian pelaku menyampaikan kata-kata bohong tipu muslihat dan sebagainya sehingga para korban tergerak menggeluarkan uang-nya,” tutur Helmy.
Saat ini, kata Helmy, pihaknya masih mendalami keterlibatan pihak lain, atau para pelaku tergabung dalam sindikasi, salah satunya mata uang yang digunakan pelaku diproduksi di mana, siapa yang mendistribusikan-nya.
“Apakah ada keterlibatan dari pihak-pihak lain atau bagaimana, masih pengembangan. Termasuk TPPU juga masih dilakukan pelacakan,” kata Helmy.
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2021